Karakter sebuah karya sastra biasanya terbentuk dari karakter penulisnya. Baik latar belakang budaya, bahasa hingga agama. Semua itu tertuang dari unsur instrinsik dan ekstrinsik dari sebuah karya sastra. Lalu, unsur apa yang ingin ditonjolkan dari sebuah karya sastra yang dikembangkan kelompok sastra Matapena?
SETIAP daerah tentunya memiliki keragaman budaya dan bahasa. Seperti halnya Jepara. Hal tersebut akan menjadi sisi-sisi yang sangat menarik ketika digambarkan dalam sebuah tulisan atau karya sastra.
“Itulah yang disebut sebagai kearifan local. Sehingga orang yang membaca secara tidak langsung akan diajak mengenal budaya si penulis,” ujar Isma Kazee, pemateri dari kelompok Matapena, Jogjakarta, dalam workshop penulisan sastra di MA Walisongo Pecangaan, kemarin.
Penulis novel Jerawat Santri dan Ja’a Jutek ini menyatakan, dengan memaksimalkan keragaman budaya dan bahasa yang terdapat di kota ukir ini, identitas khas tersebut bisa dipelajari secara mudah oleh pembaca setelah karya tersebut dipublikasikan.
Ia mencontohkan gaya penulisan dalam novelnya, Jerawat Santri yang ia tulis tak lepas dari cerita-cerita dan gaya hidup di pondok pesantren dengan segala dinamikanya. Cerita yang dibuat juga tidak terlalu melenceng dengan kebiasaan dan segala aturan yang biasa diterapkan di sebuah pesantren.
“Ini lho ciri khas yang perlu diangkat, yang menarik dari lingkungan kita tapi kita sudah anggap sebagai hal yang biasa,” bebernya.
Pemateri lain, Sachree M Daroini mengatakan, kearifan lokal tersebut haruslah dirangkai secara apik oleh penulis. Sachree menambahkan, jika telah diramu secara apik maka keragaman budaya dan bahasa akan semakin menonjol didaerah lain.
Penulis novel Love in Pesantren dan Santri Tomboy ini menegaskan, dalam penulisan sebuah karya, penulis boleh menggunakan bahasa daerah khas Jepara. Untuk memudahkan pemahaman, di akhir tulisan bisa ditambahkan arti bahasa tersebut. “Jangan sampai pembaca bingung dengan bahasa yang digunakan,” katanya. (Septina Nafiyanti/rus)
SETIAP daerah tentunya memiliki keragaman budaya dan bahasa. Seperti halnya Jepara. Hal tersebut akan menjadi sisi-sisi yang sangat menarik ketika digambarkan dalam sebuah tulisan atau karya sastra.
“Itulah yang disebut sebagai kearifan local. Sehingga orang yang membaca secara tidak langsung akan diajak mengenal budaya si penulis,” ujar Isma Kazee, pemateri dari kelompok Matapena, Jogjakarta, dalam workshop penulisan sastra di MA Walisongo Pecangaan, kemarin.
Penulis novel Jerawat Santri dan Ja’a Jutek ini menyatakan, dengan memaksimalkan keragaman budaya dan bahasa yang terdapat di kota ukir ini, identitas khas tersebut bisa dipelajari secara mudah oleh pembaca setelah karya tersebut dipublikasikan.
Ia mencontohkan gaya penulisan dalam novelnya, Jerawat Santri yang ia tulis tak lepas dari cerita-cerita dan gaya hidup di pondok pesantren dengan segala dinamikanya. Cerita yang dibuat juga tidak terlalu melenceng dengan kebiasaan dan segala aturan yang biasa diterapkan di sebuah pesantren.
“Ini lho ciri khas yang perlu diangkat, yang menarik dari lingkungan kita tapi kita sudah anggap sebagai hal yang biasa,” bebernya.
Pemateri lain, Sachree M Daroini mengatakan, kearifan lokal tersebut haruslah dirangkai secara apik oleh penulis. Sachree menambahkan, jika telah diramu secara apik maka keragaman budaya dan bahasa akan semakin menonjol didaerah lain.
Penulis novel Love in Pesantren dan Santri Tomboy ini menegaskan, dalam penulisan sebuah karya, penulis boleh menggunakan bahasa daerah khas Jepara. Untuk memudahkan pemahaman, di akhir tulisan bisa ditambahkan arti bahasa tersebut. “Jangan sampai pembaca bingung dengan bahasa yang digunakan,” katanya. (Septina Nafiyanti/rus)
(Radar Kudus, 1 Juli 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar