Cerpen Anak Nur Halimah
HARI ini benar-benar hari yang sangat membahagiakan untukku. Di sekolah, aku dinyatakan lulus dari SD Pelita Bunda dengan nilai rata- rata yang sangat memuaskan. Bahkan menurut Bu Mus, wali kelasku, aku mendapatkan nilai yang terbaik yaitu dengan rata-rata nilai 9,3 dari keseluruhan jumlah mata pelajaran yang diujikan.
Sekitar pukul 12 siang, aku pulang dari sekolah dengan menaiki sepeda jengki kesayanganku. Sesampainya dirumah, aku langsung menyandarkan sepedaku itu dibawah pohon rambutan didepan rumahku. Aku langsung berlari ke dapur dan menyusul ibu yang sedang mencuci sayur. Aku langsung membuka tas punggung butut milikku dan mengambil sebuah amplop dari dalamnya. Akupun menyerahkan amplop putih itu kepada ibu yang sedang berjongkok mencuci sayuran.
“Opo iki, le?,“tanya ibu heran dan mendongakkan kepalanya kearahku yang sedang berdiri didepannya. Aku hanya tersenyum dan menunggu sampai ibu membuka amplop yang ada ditangannya itu.
“Nilai kamu bagus yo le?, “ ibu tersenyum. Dan akupun mengangguk mendengar pernyataan ibu tadi.
“Injih Bu. Bu, aku pengen sekolah lagi,” ucapku halus.
Ibu terdiam sejenak, kemudian beliau menaruh baskom berisi sayuran yang tadinya beliau pengang itu keatas meja, disamping tempatku berdiri.
“Kamu dirumah saja yo le?,... kamu bantu ibu jualan saja,“ ibu berdiri dan mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
Aku hanya bisa terdiam, lemas rasanya mendengar ucapan ibu barusan. Aku tahu, keluargaku memang termasuk keluarga miskin di desaku. Ayahku sudah meninggal sejak aku masih duduk dikelas 3 SD dan ibuku hanyalah seorang penjual gado-gado di terminal dekat rumahku. Walaupun aku adalah anak tunggal, namun ibu tetap saja kuwalahan membiayai sekolahku. Akupun kini sudah maklum dengan kondisi seperti itu.
Setelah beberapa saat lamanya kami terdiam. Akupun akhirnya berucap.“Tidak apa-apa bu, sudah sampai seperti ini saja aku sudah senang,“ akupun mencoba untuk tidak terlihat sedih didepan ibu.
“Maaf yo le, ibu tidak bisa menyekolahkan kamu lagi…kalaupun kamu tidak sekolah, kamu masih bisa belajar. Toh, belajarkan tidak harus di sekolah,“
Aku tak terlalu memperhatikan perkataan ibu barusan. Yang terpikir olehku sekarang adalah jangan sampai ibu melihatku bersedih. Karena itu akan semakin menambah beban batin ibu.
Setelah berkata demikian, ibu kemudian mencuci sayurnya kembali dan akupun pergi kekamarku yang letaknya berada disamping ruang makan samping dapur.
Keesokan harinya aku sudah harus mulai membantu ibu berjualan gado-gado di terminal. Jam setengah lima pagi, aku sudah harus bersiap untuk berangkat. Aku pergi dengan menenteng sebuah anting yang berisi berbagai jajanan pasar dan beberapa plastik krupuk sebagai makanan pendamping gado-gado. Sementara itu, ibu menggendong bakul yang berisi lontong dan sayur- sayuran yang biasanya dibuat untuk gado-gado.
Sesampainya di terminal, ibu langsung meletakkan dangannya disamping bangku tunggu penumpang. Kamipun menggelar dagangan kami ditempat itu. Dengan sekejap para supir dan kernet bus yang sudah menjadi langganan ibuku itupun langsung menyerbu dagangan kami. Menurut mereka, gado-gado buatan ibuku rasanya sangat enak. Makanya mereka menjadi pelanggan setia ibuku. Mendengar komentar para pelanggan ibuku, yang membuatku semakin bersemangat lagi membantu ibu berjualan.
Disela-sela waktu berjualan, jika ada waktu senggang aku menyempatkan waktu untuk sekedar membaca buku atau mengulas kembali pelajaran yang pernah aku dapatkan dari sekolah.
Tiba-tiba tanpa kusadari, aku yang sedang membaca buku dibawah pohon beringin dekat tempatkku berjualan. Segerombolan anak yang usianya hampir sebaya denganku, duduk melingkar didepanku dan mendengarkanku yang sedang membaca cerita dari buku yang aku bawa dari rumah itu.
Aku tersadar, ternyata sudah sedari tadi mereka yang berjumlah lima orang itu, memperhatikan dan mendengarkanku membaca. Aku bingung.
“Kalian ….kenapa memperhatikanku seperti itu?,” tanyaku heran.
“Kami senang mendengarkanmu membaca. Kami ingin bisa membaca sepertimu,” ucap salah satu anak lelaki diantara mereka.
“Kalian ingin berlajar membaca?”
“Iya!,” Serentak anak-anak tersebut mengangguk dengan sangat antusias.
“Tapi… kami juga harus pergi mengamen,” ucap salah satu anak perempuan diantara mereka. Yang kemudian diiyakan oleh yang lainnya.
Sejenak aku berpikir. Bukankah ini adalah kesempatan yang bagus untukku, aku bisa menularkan ilmu yang pernah kudapat disekolah kepada mereka semua. Aku harus mencari cara, agar mereka tetap bisa belajar.
“Bagaimana kalau…setiap jam tiga seperti ini, kalian menyusulku disini. Aku akan mengajari kalian membaca dan menulis disini…apa kalian mau?”
“ Iya, kami mau…,” serentak anak-anak tersebut menjawab dengan wajah yang terlihat sangat senang.
Setelah beberapa saat kami mengobrol dan bercanda, akhirnya sekitar pukul empat sore, mereka pamit karena harus kembali mengamen. Akupun kini sudah mengenal siapa saja mereka. Yang ranbutnya kriting namanya Ucup, yang kurus ceking namanya Oni, yang suka ingusan namanya Sapto, dan dua cewek lagi bernama Susi dan Heni yang sama-sama berambut panjang. Senang rasanya bisa menambah teman. Jadi sekarang setelah membantu ibu berjualan, tugasku adalah mengajari mereka belajar menulis dan membaca.
Keesokan harinya, seperti yang telah kami sepakati kemarin. Pukul tiga tepat, mereka semua sudah berkumpul dibawah pohon beringin tempat kami bertemu kemarin. Setelah kami semua berkumpul, kami duduk melingkar dibagian bawah pohon yang teduh.
Aku langsung membagikan buku bacaan yang mudah untuk dijadikan panduan belajar kepada mereka. Masing–masing aku berikan satu buah buku. Setelah itu, aku mulai mengajari mereka membaca dan menulis satu persatu. Dimulai dari Ucup, Oni, Sapto, Heni kemudian Susi.
Disela-sela kami belajar, Ibu juga tak lupa memberi kami makanan untuk cemilan. Dan melihat aku mengajari mereka semua, ibu terlihat senang dengan yang ku kerjakan.
Ternyata, mereka mudah sekali menangkap apa yang aku ajarkan, dan juga bisa cepat menghafal huruf-huruf alfabet yang harus mereka hafal.
Begitulah seterusnya, pada hari-hari berikutnya seperti biasa mereka menemuiku dibawah pohon beringin tempat kami belajar. Sebenarnya mereka tergolong anak yang cerdas, karena baru sekitar dua minggu aku mengajari mereka. Mereka sudah sangat lancar dalam membaca dan menulis. Aku sangat senang sekali dengan perkembangan mereka . Sepertinya bukan hanya aku yang senang, ibu yang melihatnya juga senang.
Sekarang aku baru tahu, apa maksud perkataan ibu dulu. Belajar memang tidak harus disekolah, bahkan diterminal pun aku masih bisa belajar. Belajar kehidupan, bahwa ternyata masih banyak orang yang lebih kekurangan dariku dan tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali seperti aku dulu. Disini, aku bisa membagi ilmuku pada mereka, dan tentunya akan lebih bermanfaat bagi mereka. Oleh karena itu, ayo belajar!.
Sekitar pukul 12 siang, aku pulang dari sekolah dengan menaiki sepeda jengki kesayanganku. Sesampainya dirumah, aku langsung menyandarkan sepedaku itu dibawah pohon rambutan didepan rumahku. Aku langsung berlari ke dapur dan menyusul ibu yang sedang mencuci sayur. Aku langsung membuka tas punggung butut milikku dan mengambil sebuah amplop dari dalamnya. Akupun menyerahkan amplop putih itu kepada ibu yang sedang berjongkok mencuci sayuran.
“Opo iki, le?,“tanya ibu heran dan mendongakkan kepalanya kearahku yang sedang berdiri didepannya. Aku hanya tersenyum dan menunggu sampai ibu membuka amplop yang ada ditangannya itu.
“Nilai kamu bagus yo le?, “ ibu tersenyum. Dan akupun mengangguk mendengar pernyataan ibu tadi.
“Injih Bu. Bu, aku pengen sekolah lagi,” ucapku halus.
Ibu terdiam sejenak, kemudian beliau menaruh baskom berisi sayuran yang tadinya beliau pengang itu keatas meja, disamping tempatku berdiri.
“Kamu dirumah saja yo le?,... kamu bantu ibu jualan saja,“ ibu berdiri dan mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
Aku hanya bisa terdiam, lemas rasanya mendengar ucapan ibu barusan. Aku tahu, keluargaku memang termasuk keluarga miskin di desaku. Ayahku sudah meninggal sejak aku masih duduk dikelas 3 SD dan ibuku hanyalah seorang penjual gado-gado di terminal dekat rumahku. Walaupun aku adalah anak tunggal, namun ibu tetap saja kuwalahan membiayai sekolahku. Akupun kini sudah maklum dengan kondisi seperti itu.
Setelah beberapa saat lamanya kami terdiam. Akupun akhirnya berucap.“Tidak apa-apa bu, sudah sampai seperti ini saja aku sudah senang,“ akupun mencoba untuk tidak terlihat sedih didepan ibu.
“Maaf yo le, ibu tidak bisa menyekolahkan kamu lagi…kalaupun kamu tidak sekolah, kamu masih bisa belajar. Toh, belajarkan tidak harus di sekolah,“
Aku tak terlalu memperhatikan perkataan ibu barusan. Yang terpikir olehku sekarang adalah jangan sampai ibu melihatku bersedih. Karena itu akan semakin menambah beban batin ibu.
Setelah berkata demikian, ibu kemudian mencuci sayurnya kembali dan akupun pergi kekamarku yang letaknya berada disamping ruang makan samping dapur.
Keesokan harinya aku sudah harus mulai membantu ibu berjualan gado-gado di terminal. Jam setengah lima pagi, aku sudah harus bersiap untuk berangkat. Aku pergi dengan menenteng sebuah anting yang berisi berbagai jajanan pasar dan beberapa plastik krupuk sebagai makanan pendamping gado-gado. Sementara itu, ibu menggendong bakul yang berisi lontong dan sayur- sayuran yang biasanya dibuat untuk gado-gado.
Sesampainya di terminal, ibu langsung meletakkan dangannya disamping bangku tunggu penumpang. Kamipun menggelar dagangan kami ditempat itu. Dengan sekejap para supir dan kernet bus yang sudah menjadi langganan ibuku itupun langsung menyerbu dagangan kami. Menurut mereka, gado-gado buatan ibuku rasanya sangat enak. Makanya mereka menjadi pelanggan setia ibuku. Mendengar komentar para pelanggan ibuku, yang membuatku semakin bersemangat lagi membantu ibu berjualan.
Disela-sela waktu berjualan, jika ada waktu senggang aku menyempatkan waktu untuk sekedar membaca buku atau mengulas kembali pelajaran yang pernah aku dapatkan dari sekolah.
Tiba-tiba tanpa kusadari, aku yang sedang membaca buku dibawah pohon beringin dekat tempatkku berjualan. Segerombolan anak yang usianya hampir sebaya denganku, duduk melingkar didepanku dan mendengarkanku yang sedang membaca cerita dari buku yang aku bawa dari rumah itu.
Aku tersadar, ternyata sudah sedari tadi mereka yang berjumlah lima orang itu, memperhatikan dan mendengarkanku membaca. Aku bingung.
“Kalian ….kenapa memperhatikanku seperti itu?,” tanyaku heran.
“Kami senang mendengarkanmu membaca. Kami ingin bisa membaca sepertimu,” ucap salah satu anak lelaki diantara mereka.
“Kalian ingin berlajar membaca?”
“Iya!,” Serentak anak-anak tersebut mengangguk dengan sangat antusias.
“Tapi… kami juga harus pergi mengamen,” ucap salah satu anak perempuan diantara mereka. Yang kemudian diiyakan oleh yang lainnya.
Sejenak aku berpikir. Bukankah ini adalah kesempatan yang bagus untukku, aku bisa menularkan ilmu yang pernah kudapat disekolah kepada mereka semua. Aku harus mencari cara, agar mereka tetap bisa belajar.
“Bagaimana kalau…setiap jam tiga seperti ini, kalian menyusulku disini. Aku akan mengajari kalian membaca dan menulis disini…apa kalian mau?”
“ Iya, kami mau…,” serentak anak-anak tersebut menjawab dengan wajah yang terlihat sangat senang.
Setelah beberapa saat kami mengobrol dan bercanda, akhirnya sekitar pukul empat sore, mereka pamit karena harus kembali mengamen. Akupun kini sudah mengenal siapa saja mereka. Yang ranbutnya kriting namanya Ucup, yang kurus ceking namanya Oni, yang suka ingusan namanya Sapto, dan dua cewek lagi bernama Susi dan Heni yang sama-sama berambut panjang. Senang rasanya bisa menambah teman. Jadi sekarang setelah membantu ibu berjualan, tugasku adalah mengajari mereka belajar menulis dan membaca.
Keesokan harinya, seperti yang telah kami sepakati kemarin. Pukul tiga tepat, mereka semua sudah berkumpul dibawah pohon beringin tempat kami bertemu kemarin. Setelah kami semua berkumpul, kami duduk melingkar dibagian bawah pohon yang teduh.
Aku langsung membagikan buku bacaan yang mudah untuk dijadikan panduan belajar kepada mereka. Masing–masing aku berikan satu buah buku. Setelah itu, aku mulai mengajari mereka membaca dan menulis satu persatu. Dimulai dari Ucup, Oni, Sapto, Heni kemudian Susi.
Disela-sela kami belajar, Ibu juga tak lupa memberi kami makanan untuk cemilan. Dan melihat aku mengajari mereka semua, ibu terlihat senang dengan yang ku kerjakan.
Ternyata, mereka mudah sekali menangkap apa yang aku ajarkan, dan juga bisa cepat menghafal huruf-huruf alfabet yang harus mereka hafal.
Begitulah seterusnya, pada hari-hari berikutnya seperti biasa mereka menemuiku dibawah pohon beringin tempat kami belajar. Sebenarnya mereka tergolong anak yang cerdas, karena baru sekitar dua minggu aku mengajari mereka. Mereka sudah sangat lancar dalam membaca dan menulis. Aku sangat senang sekali dengan perkembangan mereka . Sepertinya bukan hanya aku yang senang, ibu yang melihatnya juga senang.
Sekarang aku baru tahu, apa maksud perkataan ibu dulu. Belajar memang tidak harus disekolah, bahkan diterminal pun aku masih bisa belajar. Belajar kehidupan, bahwa ternyata masih banyak orang yang lebih kekurangan dariku dan tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali seperti aku dulu. Disini, aku bisa membagi ilmuku pada mereka, dan tentunya akan lebih bermanfaat bagi mereka. Oleh karena itu, ayo belajar!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar