Senin, 12 September 2011

Berkibarlah Pusakaku

Cerpen Endah Wahyuningsih 

Subuh belum lama pergi. Aku percikkan segelas air kemukaku dan bergegas menuju ke emperan. Disana nenek telah menunggu untuk menunaikan sholat berjama’ah di masjid. Setelah selesai aku tidak langsung pulang. Telah menjadi kebiasaanku berdiam di serambi masjid untuk sekadar membaca-baca buku-buku pelajaran sampai dengan buku-buku sejarah tentang perjuangan bangsa Indonesia.

Subuh itu, langit masih nampak bintang walaupun sang bintang tak menampakkan dirinya. Aku menerawang jauh menerobos rasi-rasi bintang yang temaram, sembari menutup halaman buku yang sedang aku baca. Dan tanpa sadar air mataku menitik di atas buku yang aku pegang.

“Andai kakek masih disini,” Huf... aku menghelai nafas panjang.

Teringat kakekku yang puluhan tahun lamanya pernah terlibat dalam pertempuran bangsa Indonesia melawan penjajah. Ada beberapa hal yang masih terngiang di pikiranku sampai detik ini yaitu ketika peringatan kemerdekaan tiba. Waktu itu aku masih duduk di kelas dua sekolah menengah pertama (SMP), kakek sempat menyuruhku menjadi pasukan pengibar bendera saat upacara di lapangan kecamatan. Namun sayangnya aku sedang sakit saat itu, padahal dalam seleksi pemilihan itu aku lolos.

Di usia senja itu, kakek merupakan manusia yang sungguh berjiwa pejuang bagiku. Sewaktu aku kecil, kakekku tidak pernah absen untuk menceritakan kisah sejarah bangsa Indonesia padaku, sebagai dongeng pengantar tidur.

Namun, sayangnya dua bulan yang lalu kanker hati yang dideritanya telah membuatnya untuk menutup mata selamanya.

* * *
“Tika?” bang joni menyapa.

Segera mungkin aku menyentakkan kepalaku dan cepat-cepat keluar dari bayangan masa lalu indahku itu. Bang joni adalah mu’adzin masjid dan orang yang setiap pagi hari membersihkan masjid.
“Astagfirullah!” mataku melototi jam yang menempel di dinding masjid itu. Aku tak ingin lagi berkata-kata kepada bang Joni, karena langkahku yang begitu cepat menggerakkan seluruh tubuhku menjahui bang joni dan akhirnya sampailah aku di depan gubuk tua tempatku menghabiskan waktu-waktuku.

Byur, byur! Secebok, dua cebok dan seterusnya, air sumur membasahi tubuhku dengan penuh kesegaran. Seragam putih abu-abu telah menutupi seluruh auratku. Dan saatnnya aku berangkat sekolah. Sesuap nasi dan lauk seadanya telah disiapkan sebagai bekal wajib yang harus dibawa nantinya untuk pengganjal perut.

“Nek, Tika berangkat dulu ya!” sambil mencium tangan keriput wanita senja tersebut.

Bersama dengan sepeda tua peninggalan kakek, aku telah sampai di depan gerbang sekolahku.

Menengok ke atas tiang bendera, itu rutinitas wajib setiap pagi yang telah menjadi kebiasaanku.

“Pasti beres dong Tik, siapa dulu?” Senyum lega dibibirku menanggapi sapaan pak Tarno yang bekerja sebagai tukang kebun di sekolahku.

“Pak Tarno telah paham betul mengenai tingkah laku siswa seperti aku ini,” gumamku dalam hati.

Entah kenapa, jika sang merah putih belum dikibarkan rasanya semangat belajarku kurang 100 %.
* * *
Senja telah melukis cakrawala. Aku dan Nenek masih terduduk santai di emperan. Mataku tertuju ke langit memandangi keindahan manifestasi yang telah Allah berikan setiap sorenya.

“Subhanallah, nek tiga hari lagi Ramadhan tiba kan,” tanyaku.

Nenek hanya terdiam tak menjawab. Hampir lima menit aku tak mengucapkan sepatah katapun. Suasana menjadi hening, disitulah muncul pertanyaan atas kerinduanku pada Ibu.

“Nek, ibu kapan pulangnya, sebentar lagi kan bulan puasa? Aku kangen nek sama Ibu.” Nenek menghelai nafas panjang.

“Maafin Nenek ya! Ndok, kemaren ibumu mengirim pesan buat kita. Kata Ibumu, dia hanya bisa pulang pas hari raya tiba. Sebab majikannya di Malaysia tidak mengijinkan untuk pulang ke Indonesia.”

“Iya Nek, Tika bisa mengerti kok.” Mataku berkaca-kaca namun aku tak ingin menitikkan air mata di depan nenek. Nenek begitu berharga, aku tak ingin Nenek bersedih melihatku.
* * *
Ya Rabbi...!!! kesunyian kini benar-benar menggerogoti kehidupanku.

Aku tak sempat merasakan kasih sayang seorang bapak, sebab bapakku telah  meniggalkan ibu ketika aku masih bayi. Dan sekarang mungkin Bapak telah memiliki Tika-Tika yang lain selain aku. Aku juga tak begitu tau masalahnya, sampai-sampai ibuku berpisah dengan Bapak.

Setiap aku menanyakan hal itu kepada Nenek, beliau selalu saja bersikap acuh padaku. Hingga aku bosan menanyakan hal itu kepada Nenek. Entah apa yang terjadi, aku tak ingin tahu lagi tentang Bapak sekarang.
   
Sampai detik ini Ibu tak lagi duduk di sampingku. Dia menjadi TKW di Malaysia. Tak lain dan tak bukan, Ibu bekerja keluar negeri hanyalah untuk membiayai sekolahku serta buat makan dan kehidupan sehari-hari.
* * *
Hari ini adalah hari pertama aku dan nenek menjalankan ibadah wajib yang merupakan rukun islam yang ke empat yaitu puasa Ramadhan.

Bagi gadis usia tujuh belas tahun seperti aku ini, memang tiada masalah lapar dan dahaga. Tapi, apakah kisah yang lain tidak akan menghampiri dan menemaniku ketika fajar dan senja datang?.

“Ah.....mustahil.” harapan kosong kembali mendarat di pikiranku.

Dingin rasanya telah menusuk kerasnya tulangku, ketika sehelai sarung yang membungkus tubuhku tertarik oleh seseorang. Suara lembut Nenek, mendarat di telingaku.

“Ndok, ayo cepat bangun!, waktunya makan sahur.”

Aku membuka mata namun sekujur  tubuhku serasa terikat kaku. Rasa sakit yang amat kurasakan di tubuhku, hingga sumbernya pun tak kuketahui. Saat kelas satu SMA dulu sempat aku dibawa ke dokter, tapi sayangnya Nenek menyembunyikan penyakitku itu dan sampai sekarang aku hanya bisa pasrah di bawah takdir.

“Badanmu panas banget ndok, kalau sakit jangan kamu paksakan berpuasa.”

“Nenek, tadi malam Tika bertemu dengan kakek. Kata kakek bulan ini puasaku harus penuh dan tujuh belasan nanti aku harus jadi pasukan pengibar bendera di Kecamatan,” omongan agak ngelantur seketika nyeplos dari mulut Tika, tanpa pikir panjang Nenek langsung mengambil jatah sahur untukku.

Satu, dua sendok dan seterusnya mulai mendarat di mulutku. Nenek memang telah paham betul, karena sejak kelas enam SD aku memang sering jatuh sakit.
* * *
“Ya Rabbi..... !” ini benar-benar karunia terbesarMu. “Subhanallah.” Impianku menjadi Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) hari ini benar-benar terwujud. Dengan seragam putihku aku berdiri tegak di Lapangan Kabupaten.

“Kakek, hari ini aku akan memenuhi keinginanmu selama ini. Sang Saka Merah Putih akan berkibar di bumi pertiwi. Aku akan mengibarkannya di lapangan kabupaten tidak hanya di kecamatan seperti yang kakek inginkan,” gumamku dalam hati.

“Langkah tegap maju jalan!!!”

Formasi barisan yang amat menjanjikan, mewarnai seluruh isi lapangan. Langkah demi langkah, bak barisan prajurit Nasionalis. Dengan mantap menampakkan kakinya di atas bumi Indonesia. Seakan memecah keheningan siang itu.

“...Indonesia raya merdeka-merdeka Tanahku Negeriku yang ku cinta/ Indonesia raya merdeka-merdeka Hiduplah Indonesia raya...”

Lagu kebangsaan Indonesia Raya mengiringi sang Pusaka hingga mengantarkannya sampai keujung tiang bendera. Penghormatan terakhirku sebagai tanda untuk melepaskan sang pusaka dan membiarkannya berkibar bebas di angkasa.

Tiba-tiba sejurus rasa sakit di sekujur tubuhku mulai menjalar dengan sendirinya, hingga membuatku tak punya daya lagi untuk berdiri. Dan jatuhlah diriku di bawah kibaran sang saka Merah Putih, yang berkibar penuh akan keberanian dan kesucian.
   
Tubuhku tak akan bangun dan berdiri lagi, sebab kedatangan Izroil telah membawaku menuju tempat terindah yang tiada tandingannya. Terimakasih Indonesia, Nasionalisme akan tetap di hatiku. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar