Selasa, 10 Januari 2012

Kembang Api Terakhir

Cerpen: Rif’ul Mazid Maulana

Disudut ruang tamu yang sempit dan hanya ditemani sepiring singkong rebus, keluarga Ruslan terlihat sangat rukun bercengkerama meskipun tersimpan sejuta masalah yang membebani senyum simpulnya.

Bintang adalah satu-satunya anak Ruslan. Semenjak berusia dua tahun ia tiba-tiba mengalami lumpuh di kakinya sehingga sampai usia enam tahun sekarang ini ia belum bisa berjalan dengan normal.

“Ma, sebentar lagi tahun baru akan datang, itu tandanya umur anak kita akan  bertambah pula,” ucap Ruslan mengawali pembicaraan dengan Sulastri istrinya.

“Iya pa, tanggung jawab kita sebagai orang tua semakin besar, anak kita juga membutuhkan sekolah,” jawab Sulastri.

Tiba-tiba Bintang ikut andil pembicaraan.

“Pa, ma, tahun baru itu yang ada pesta kembang api itu iya?” tanya Bintang kepada kedua orang tuanya.

“Iya nak, sekarang kamu sudah semakin pintar iya nak,” jawab Ruslan.

“Pa, ma, Bintang ingin sekali di tahun baru ini bisa rayainnya,” harap Bintang kepada orang tuanya.

Ruslan dan Sulastri hanya tersenyum layu memandang Bintang, anaknya.
* * *

Gema seruan adzan menggema keseluruh pelosok kampung. Ruslan pun segera terbangun dari tidur dan bergegas mengambil air wudlu kemudian berjama’ah dengan istrinya. Setelah berjama’ah dia menyiapkan becak kesayangannya. Sehari-hari Ruslan hanya bekerja sebagai tukan becak pasar saja.

“Bu, bapak pergi mencari uang dulu ya?” ucap Ruslan berpamitan kepada istrinya yang sedang memasak di dapur.

“Iya pa, semoga hari ini Allah memberikan rizqi yang berkah kepada kita pa,”

“Amin. Jaga Bintang iya ma, ia adalah rizqi terbesar yang diberikan oleh Allah kepada kita.”

“Iya pa,” ucap Sulastri sambil mencium tangan suaminya.

Suasana kampung yang sepi dan udara pagi yang masih sejuk menambah semangat Ruslan untuk mengayuh becak tuanya. Jalan-jalan desa yang sempit dan berlubang ia lewati dengan semangat bak seorang atlit di medan laga.
* * *

“Semangat kali hari ini kau Ruslan,” tanya Partono teman sesama tukang becak.

“Iya no, anakku Bintang sudah semakin besar, berarti banyak pula uang yang harus aku cari,” jawab Ruslan.

“Begitu dong, hidup memang butuh semangat,” ucap Partono dengan nada lantang.

Riuh ramai pasar hari ini menambah semangat Ruslan, dalam hatinya ia berharap akan banyak penumpang yang memakai jasanya.

Waktu demi waktu terlewati namun tidak ada satupun orang yang memakai jasanya.

“Sepi kali hari ini, Ruslan,” keluh Partono.

“Iya no, sekarang orang-orang lebih banyak yang memakai jasa ojek motor,” sahut Ruslan.

“Betul kau itu, mungkin itu nasib untuk kita orang kecil yang tak punya modal banyak.”

“Tapi kita harus tetap semangat no, hari masih panjang.”

“Okelah kawanku.”

Dua orang sejoli ini seperti tidak gampang menyerah kepada keadaan meskipun dipangkalannya tinggal mereka yang tetap bertahan menjadi penarik becak kaki. Faktor ekonomi yang lemah membuatnya tidak bisa berpendah menjadi tukang ojek motor.

* * *
Di rumah kayu yang reyot, Sulastri sedang menyuapkan makan siang untuk anaknya. Nasi putih, kuah sayur dan sepotong tahu goreng begitu lahap ia santap.

“Mah, kapan papa pulang?” tanya Bintang.

“Nanti nak, do’ain saja semoga bapakmu pulang dengan membawa uang yang banyak,” jawab Sulastri sambil mengelus-ngelus kepala Bintang.

Sehabis menyuapkan makan siang untuk Bintang, Sulastri pun segera menatakan tempat tidur untuk Bintang. Sehari-hari Bintang hanya menghabiskan masa kecilnya diatas ranjang kusam yang sudah tidak begitu layak lagi.

“Nak, kamu kenapa nak?” tanya Sulastri kepada Bintang dengan perasaan yang kaget karena melihat suhu badan Bintang yang semakin panas.

“Tidak kenapa-kanapa bu,” jawab Bintang dengan suara lirih penuh belas kasih.

Sulastri tak kuasa menahan air matanya ketika melihat tubuh Bintang yang mengigil, raut mukanya membiru dan suhu badannya sangat panas. Sulastri lalu bergegas mengambil handuk dan air panas untuk mengompres Bintang.

“Tidurlah nak yang lelap, nanti ayahmu akan membawakan hadiah tahun baru untukmu,” ucap Sulastri dengan tatapan penuh kasih sayang kepada Bintang yang terbujur lemas tak berdaya.
* * *

“Sampai sore gini belum ada satupun penumpang ya no?”

“Iya Lan, aku juga heran. Hari ini benar-benar sial kita, biasanya sudah banyak penumpang yang memakai kita.”

“Iya No.”

Gumam Ruslan dan Partono.

Hari sudah tidak siang lagi matahari telah berjalan ke ufuk barat. Lalu lalang pedagang pasar pun sudah mulai sepi. Namun belum ada satupun penumpang yang memakai jasa tukang becak.

“Kamu balik kapan Lan?” tanya Partono.

“Nanti saja No, belum ada yang bisa aku bawakan untuk anak dan istriku dirumah,” jawab Ruslan penuh harap.

“Aku pulang dulu ya Lan,” ucap Partono berpamitan kepada Ruslan. Ia lalu mengayuh becak menuju tempat tinggalnya.

Benar-benar sial, malam telah datang tapi belum ada satupun penumpang. Dengan penuh harapan untuk bisa membelikan kado tahun baru untuk Bintang, Ruslan pun sabar menanti meskipun hanya sendiri.

Rintik-rintik air hujan tak tertahankan lagi, waktu pun telah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dengan hati gelisah dan sedih, ia pun akhirnya memutuskan untuk kembali kerumah reyotnya.

“Pak tolong pak, tolong!” teriak seorang laki-laki dari arah belakang. Ruslan pun sontak menghentikan ayuhan becaknya. Lalu menoleh kebelakang dan bergegas menghampiri pria itu.

“Pak tolong pak, tolong! Istri saya ini mau melahirkan,” pinta pria yang belum kenal namanya itu.

“Iya pak,” jawabnya sambil membantu pria itu mendudukkan istrinya di becak.

Hujan tidak dapat tertahan lagi, tapi ia berupaya mengayuh becak sekuat tenaganya. Ia sadar dua nyawa menjadi tanggung jawabnya. Setelah kurang lebih lima belas menit memacu becaknya, ia pun sampai dirumah sakit bersalin.

“Dokter, dokter tolong! Istri saya,” teriak pria itu.

Seorang dokter datang dengan membawa kursi roda menghampiri Ruslan dan menolong wanita hamil itu.

“Terimakasih banyak pak,” ucap pria itu sambil memberikan satu lembar uang lima puluh ribu kepadanya.

“Pak ini kebanyakan,” ucap Ruslan.

“Sudah ambil saja pak, itu rizqi untuk bapak,” teriak orang itu meninggalkan Ruslan.

Ruslan sangat bahagia karena mendapatkan uang yang sangat besar. Dengan penuh semangat dan senyum gembira Ruslan segera mengayuh becaknya menuju lapak pedagang kaki lima untuk membelikan kembang api untuk Bintang. Setelah tiga batang kembang api dibelinya ia kemudian langsung pulang, tak sabar ingin merayakan pergantian tahun bersama anaknya, Bintang.
* * *
Sesampainya di gubuk tua tempat ia tinggal, Ruslan pun segera menghampiri anak dan istrinya yang ada dikamar dengan membawa sebungkus kembang api yang diletakkan di belakang badannya.

Rupanya Sulastri dan Bintang sudah tertidur pulas, ia pun segera membangunkannya.

“Bu, nak bapak pulang,” ucap Ruslan sambil menepuk badan anak dan istrinya dengan harapan agar ia segera bangun.

“Bu, papa sudah pulang. Ayo! Bu bangun kita rayain tahun baru,” ucap Bintang sambil menarik-narik ibunya.

Ruslan pun segera mengeluarkan sebungkus kembang api dari belakang tubuhnya untuk diberikan kepada Bintang.

Sulastri pun akhirnya terbangun, mereka bertiga kemudian bergerak keluar rumah untuk merayakan pergantian tahun. Malam itu terasa begitu indah, hujan pun sudah berhenti. Tinggal bulan sabit dan ribuan kilau bintang yang mewarnai perayaan tahun baru.

Satu per satu kembang api yang dibawakan Ruslan pun dihidupkan Bintang dengan digendong ayahnya. Wajah ceria keluarga kecil itu tak terbendung lagi kala melihat pesona atraksi kembang api di angkasa.

Setelah kembang api ketiga bermuara diangkasa. Tiba-tiba badan Bintang menggigil, tubuhnya membiru, raut mukanya putih pucat dan kejang-kejang. Ruslan pun terkaget, segera ia membawa bintang kedalam rumah.

Namun apa daya manusia walaupun sudah berusaha sekuat tenaga namun akhirnya Tuhan pun yang menentukan. Akhirnya Bintang menutup mata setelah merayakan pergantian tahun baru untuk yang terakhir kalinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar