Kamis, 23 Juni 2011

Ayahku Adalah Kartini

Cerpen Ummi Abdillah Azzahro
 
Dua hari lagi 21 April. Apakah semuanya akan baik-baik saja. Kuharap tak ada lagi tawa menghina dari teman-teman. Masih jelas terekam dibenakku ketika mereka menertawakanku karena aku bilang,”Kartini sama seperti ayahku.” Menurutku tak ada yang lucu di kalimat itu. Tapi mengapa mereka tertawa?

Apakah ayahku termasuk orang-orang yang melawan kodrat? Aku rasa tidak. Ayahku lelaki tulen menikah dengan seorang wanita dan mempunyai empat anak gadis.
Tak punya kelainan baik jasmani maupun rohani. Tapi mengapa bu Norma tetangga sebelah selalu berkata.

“Si Lukman ituloh, laki-laki gundul. Mosok istrinya harus pontang-panting kerja. Sedang dia enak-enakan di rumah tinggal terima duit. Tahu cari uang itu susah mbok ya istrinya dibantu. Apa nggak malu sama tetangga.” Aku geram mendengarnya dan serta merta kulontarkan kata-kata untuk membela ayahku.

Bu Norma tidak juga berhenti mencela ayah. Aku tak mau mengalah, begitupun bu Norma. Mulailah adu mulut antara gadis 15 tahun dengan Ibu 48 tahun. Semuanya jadi tidak terkendali hingga tetangga yang lain datang untuk melerai.

Didepan pintu Ayah berdiri dengan wajah tertekuk. Kujelaskan apa yang terjadi tadi tapi Ayah dengan sabar dan bijaksana hanya berkata.

“Buat apa kamu meladeni Bu Norma. Terserahlah apa kata dia. Orang kan punya urusan masing-masing.” Ah…memang Ayahku ini orang paling sabar di dunia. Dijadikan buah bibir tetangga masih saja tak marah.

# # # #

Tepat jam 00.00 malam Ibu pulang. Wajahnya menyiratkan bahwa beliau benar-benar lelah. Pekerjaannya di kantor perusahaan swasta membuatnya tak punya banyak waktu untuk putrinya. Dan disaat lelah mulai memuncak Ayah datang untuk melepas penat Ibu seusai membacakan dongeng untuk adikku yang terkecil, Rahmi.

Esoknya sebelum aku berangkat sekolah, sarapan sudah terhidang diatas meja dan itu semua Ayahku yang lakukan, menyisir dan merapikan bajuku pun Ayah yang lakukan. Sedang Ibu sibuk mencari arsip-arsip penting. “Apa putrinya tak lebih penting daripada arsip-arsip penting itu?” pikirku.

Mobil Ibu tepat berhenti didepan gerbang sekolah. Aku buru-buru turun dari mobil. Suasana hangat sekolah langsung menyambutku.

“Hai Bapak Kartini.” Ah, aku baru ingat kalau hari ini 21 April. Mereka tetap tidak berubah, masih ada gelak tawa menyakitkan. Di hari Kartini tahun ini tak tahan dengan cemooh dari teman-teman. Aku berlari menuju kebun belakang sekolah. Bulir-bulir air mata menetes. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan duduk disampingku. Dani.

“Butuh tempat untuk mencurahkan isi hati, Bapak Kartini?”
 
“Namaku Dina bukan Bapak Kartini.”
 
“Oh, jadi ini ceritanya nggak terima dipanggil Bapak Kartini. Habisnya kamu juga lucu masak Bapaknya dimiripin sama Kartini. Kartini kan cewek. Kalau boleh tahu kenapa sih kamu miripin Bapakmu sama Kartini?”
 
“Ayahku mirip Ibu Kartini karena beliau tak pernah mengeluh dengan perbedaan gender. Meskipun kegiatan sehari-harinya adalah pekerjaan seorang wanita. Ayah tetap sabar dan beliau menganggap pekerjaan laki-laki atau perempuan itu sama saja. Layaknya Kartini yang mencetuskan emansipasi demi persamaan gender.”
 
“Kenapa Ayahmu mau melakukan itu semua. Umumnya lelaki kan risih dengan pekerjaan wanita.” Mendengar pernyataan Dani aku hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya pertanyaan Dani sudah lama ingin aku tanyakan pada Ayah tapi aku tak berani. Aku terlalu takut, takut menyinggung.
 # # # #

Kudekati sosok gagah yang kini sedang sibuk berkebun di taman belakang.

“Ayah, aku ingin bertanya sesuatu pada Ayah tapi sebelumnya Ayah tak boleh tersinggung.” Ayah lalu menatapku dengan heran lalu aku cuma mengangguk.

“Ayah, kau terganggu dengan para tetangga dan teman-teman yang selalu mengolok-olok ayah. Kenapa sih Ayah tidak bekerja saja. Mengapa mesti di rumah?” Ayah tersenyum. Mencuci tangannya yang penuh tanah lalu mengajakku duduk di kursi taman.

“Sebelum Ayah menjawab pertanyaan Dina. Ayah mau menyuruh Dina untuk membayangkan apa jadinya kalau Ayah dan Ibu bekerja dan setiap hari pulang jam 00.00 malam. Bayangkan saja keadaan rumah, terus kalian yang tumbuh tanpa kasih sayang.” Aku diam. Aku hanya bisa diam mendengar itu. Tak pernah aku berpikir sejauh itu.

“Kenapa tidak Ayah saja yang bekerja sedang Ibu di rumah?”

“Pekerjaan Ibu tidak bisa diganti oleh Ayah. Pangkat Ibu di perusahaan sudah tinggi. Tak mungkin menanggalkannya begitu saja. Sedang Ayah terlalu sulit untuk bekerja lalu menghidupi kalian. Ayah hanya lulusan SMP.” Aku kembali diam.

“Dina, Ayah tidak bekerja bukan karena tak ingin. Ayah ingin sekali. Tapi Ayah urungkan karena tak ingin meninggalkan putri-putri Ayah. Putri Ayah lebih membutuhkan kasih sayang. Ayah tak ingin putri salah jalan. Buat apa menuruti kata orang untuk bekerja sedang putri sendiri terlantar.”

Kali ini tak hanya diam menyelimuti tapi air matapun menemani. Tak pernah kutahu niat ayah sebenarnya. Andai aku tahu, tak pernah sekalipun aku menuntutnya untuk bekerja. Sebuah pelukan hangat menambah haru suasana kali ini.

Ayahku kaulah Kartiniku. Memang bukan emansipasi yang kau elukan tapi kau tetap Kartiniku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar