Kamis, 23 Juni 2011

Cinta Tanah Air

Cerpen Rif’ul Mazid Maulana

Isna adalah seorang gadis kampung yang kesehariannya tidak lepas dari pekerjaan rumah. Dia baru dua pekan ini lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan di desanya. Keluarganya tergolong tidak mampu ayahnya hanya bekerja sebagai kuli panggul dan ibunya sebagai buruh pemetik daun teh. Dengan penghasilan yang begitu kecil mungkin orang tua Isna sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikan yang berikutnya.
Sewaktu sekolah dulu dia termasuk anak yang pandai dan disegani banyak orang. Hampir setiap tahun dia selalu mendapatkan predikat bintang kelas. Selain itu, tahun ini Isna juga mendapatkan titel siswa teladan. Meskipun segudang prestasi akademik maupun non akademik telah diraihnya tetapi faktor ekonomi yang menjadikan semua harapan dan cita-citanya musnah tertelan bumi kemiskinan.

Pagi sudah mulai hilang. Matahari telah berjalan kearah barat. Diteras rumah yang kecil dan hanya berlantaikan tanah dia duduk termangu di sebuah kursi panjang sambil menatap ke arah pelataran rumah. Dalam hatinya bergejolak memikirkan dua tawaran yang sangat rumit.

Isna masih berkeinginan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Namun disisi lain dia juga harus berbakti kepada ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya lebih menginginkan Isna mengikuti teman-teman di desanya yang menjadi TKI.

Kepala Isna seakan tertimpa reruntuhan bebatuan. Masalah demi masalah semakin memberatkan hidup gadis desa itu. Harapan dan keinginannya untuk kuliah sangat besar. Dia tidak ingin semua yang diraihnya sirna tanpa bekas.

Sebenarnya dia takut menjadi TKI karena banyak tenaga kerja yang pulang dalam kondisi yang memprihatinkan. Banyak yang disiksa, dianiaya, diperkosa dan ada juga yang sampai dibunuh. Namun pekerjaan di luar negeri juga menjanjikan hasil yang cukup besar daripada bekerja di dalam negeri.
#  #  #  #  #

Hari sudah beranjak malam. Semua keluarga Isna berkumpul disebuah ruangan tamu sambil berbincang-bincang yang kelihatannya sangat hangat.

"Nak bagaimana dengan masa depanmu?" tanya Parmin ayah Isna.

"Masa depanku pak…," ucap Isna dengan hati yang bingung.

"Nak bapak tadi bertemu dengan Ridho. Dia baru saja pulang dari Malaysia sebagai TKI. Sekarang dia sudah punya semua yang dia inginkan. Ridho sudah dapat membelikan orang tuanya rumah yang sangat bagus," ucap Parmin sambil bercerita padanya.

"Apakah kamu tak ingin nak bekerja di luar negeri yang bermasa depan cerah," tambahnya.

"Pak, Isna tidak ingin menjadi budak mereka. Apakah bapak tidak lihat berita yang ada di TV itu?" katanya.

"Tapi bapak sudah janji memperkerjakanmu menjadi TKI." Jawab bapaknya dengan nada yang kasar dan raut muka yang kejam.

"Kamu tetap harus menuuruti keinginan kami. Apakah kamu tidak ingin harta melimpah? Apa kamu mau menjadi orang miskin selamanya? Apa kamu mau dihina orang terus-menerus? Apa kamu mau menjadi budak suruhan orang-orang kaya?" ucap pak Parmin dengan nada sangat kasar.

"Tapi pak," ucap dengan nada yang pelan sambil menatap bapaknya.

"Tidak ada tapi-tapian. Kamu harus menurut pada kami," tegas Parmin.

"Nak benar kata bapakmu itu. Apa kamu tidak ingin seperti Ridho itu pulang-pulang langsung kaya raya," tambah Ibu Isna sambil menghasutnya.

"Bu, Isna masih pengen sekolah," ucap Isna dengan mata yang berkaca-kaca.
 
"Nak bapak dan ibumu sudah tidak kuat membiayaimu," kata bu Isna.
"Iya bu tapi tidak harus jadi TKI kan? Disini kan juga masih banyak banyak pekerjaan yang layak bu."
 
"Tapi kalau disanakan sudah pasti hasilnya nak," jawab Ibu Isna.
 
"Tapi Isna tidak mau mengemis-ngemis ke negara orang," ucap Isna sambil meneteskan air mata.
 
"Dipikir-pikir dulu nak. Kesempatan tidak datang dua kali," ucap ibu Isna sambil menerangkannya.

Isna seakan tidak kuat lagi membendung keinginan kedua orang tuanya. Ruang tamu yang tadi berselimutkan kebahagiaan sekarang berganti menjadi tangisan dan duka. Air matanya seakan terus mengalir ke bumi. Hatinya terasa bergejolak dengan cepat. Dia terasa tidak kuat menahan semua. Dia kemudian berlari ke kamarnya. Untuk menenangkan dirinya.

Dia mengeluarkan semua isi hatinya dengan rintihan-rintihan tangis. Dunia seakan ingin menelan permata itu. Kepala Isna seakan telah berhenti untuk berpikir. Hanya raungan-raungan tangis yang terdengar menyelimuti ruang tidur Isna.

"Isna besok tuan Rokhul datang kesini. Dia akan menjemputmu untuk dikirim ke Malaysia." Suara keras dan kasar Parmin yang seakan mengultimatum Isna.

Suara keras itu menambah perasaan Isna yang semakin hancur. Kata Parmin itu seakan terus terdengar beralunan ditelinganya. Malam ini terasa menjadi malam terberat dalam hidupnya. Dia tidak dapat menutup matanya. Dia hanya terus menangis dan berdoa meminta petunjuk pada Allah SWT agar mengabulkan pintanya. Dan memberi jalan atas semua masalah hidupnya.

Waktu terus berputar. Malam ini lebih cepat dari malam-malam sebelumnya. Jarum jam terus berputar pada porosnya. Isna berdiri dari sujudnya dan seakan mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Isna kemudian mengeluarkan sebagian pakaiannya dari almari dan memasukkan ke dalam sebuah tas besar berwarna merah.

Jam dinding baru menunjukkan pukul 04.00 wib namun dia sudah bergegas untuk meninggalkan rumah. Mungkin langkah itu adalah langkah yang tepat untuk menghadapi belenggu dan paksaan orang tuanya. Meskipun berat Isna tetap harus menuruti kata hatinya itu.

Isna sudah cukup dewasa untuk berpikir akibat yang akan diterimanya. Dengan berbekal uang tabungan sewaktu dia sekolah dulu. Isna bertekad untuk sementara waktu ini pergi ke rumah neneknya yang jauh di lereng gunung sana.

Sebelum dia bergerak melangkahkan kakinya Isna menulis sebuah surat untuk kedua orang tuanya. Lalu dia letakkan di sebuah meja yang usang biasa dia tempati untuk belajar. Dengan tingkah laku mengendap-ngendap Isna pun bergerak melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Udara dingin yang seakan menusuk sum-sum tulang tidak dia hiraukan. Hanya kesedihan dan ketakutan yang menyelimuti kepergian gadis desa itu.
  #  #  #  #  #

Waktu demi waktu telah berlalu. Hari demi hari sudah terlewati. Kini mutiara desa itu hidup di sebuah desa kecil di lereng gunung yang sepi dari keramaian kota. Di desa itu udaranya sangat sejuk tidak ada asap kendaraan maupun polusi pabrik. Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah dan perkebunan yang terlihat suara-suara nyanyian burung seakan menambah keasrian desa itu.

Berbekal ilmu pengetahuan pertanian sewaktu dia sekolah sekarang Isna dipercaya menjadi pembimbing di paguyuban petani di desa tersebut. Meskipun orang yang dia bina adalah orang yang lebih tua dari dirinya. Namun dia tetap dihargai dan dihormati oleh para masyarakat yang kebanyakan sebagai petani itu. Kehadiran Isna seakan membawa kabar baik pada para petani sehingga dalam waktu yang dekat dia sudah dapat berbaur dan disegani oleh para penduduk desa tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar