Cerpen Wafa Rohma Fauziah
Aku berlari dengan dompet yang kubawa. Di belakangku segerombol orang ingin menangkapku. Gang-gang sempit kulewati sampai terlihat bangunan tua yang kelihatan angker. Aku sembunyi dibalik tembok untuk menghindar dari massa.
“Dimana pencopet itu? Kurang ajar dia.”
“Mungkin dia lari kesana.”
“Dimana pencopet itu? Kurang ajar dia.”
“Mungkin dia lari kesana.”
“Ayo cari dia!”
Massa berlari menuju jalan yang ditunjuk oleh salah seorangnya.
“Untung aku tahu tempat yang aman.” Aku keluar sambil celingukan melihat keadaan.
“Aman. Hitung penghasilan hari ini ah….” Kubuka dompet itu.
“Wiiiihh, lumayan untuk kebutuhan anak-anak dan jajan mereka. Beruntung sekali aku hari ini.”
Setelah menghitung uang, aku langsung pulang.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan sepeda. Sepeda memang alternatif yang baik bagi pelajar Jakarta seperti aku yang kurang mampu. Pekerjaan ayahku hanya pemulung dan ibuku sebagai pembantu.
Penghasilan mereka cukup untuk kebutuhan sekolahku dan kebutuhan sehari-hari. Keadaan kami memang begini. Rumah kami hanya terbuat dari triplek. Kami tinggal di pinggiran kota Jakarta.
“Wahyuni, tunggu ini bekalmu. Emak hanya bisa membuatkan nasi kelapa saja.”
“Yam au bagaimana lagi. Emak tidak bisa membuatkan bekal seperti teman-teman SMA kamu yang lain.”
“Sudahlah mak. Aku mengerti kok. Ya sudah aku pergi dulu ya. Nanti aku telat kalau kesiangan.”
“Iya, hati-hati.”
Sepulang sekolah aku menuju tempat anak-anak berkumpul belajar, menuju bangunan tua yang kelihatan angker. Sebelum kesana, aku sudah membeli buku dan makanan kecil dengan uang nyopet kemarin.
“Siang, anak-anak!”
“Siang juga, kak Wahyuni.”
“Ini kakak bawakan buku dan makanan.”
Mereka langsung berebut mengambil buku dan makanan.
“Kalau kalian sudah dapat satu-satu, sekarang duduk dengan rapi. Kita akan meneruskan pelajaran membaca kemarin. Setuju?”
“Setuju.”
Anak yang kuajar adalah anak-anak tetanggaku yang tidak sekolah. Biasanya mereka mengamen atau menjual koran pada pagi hari dan siangnya aku ajar mereka. Karena susah mencari uang di kota ini akhirnya aku menjadi pencopet untuk membiayai belajar anak-anak.
Keesokan hari saat aku mengajar, aku mendengar bahwa bangunan tua ini akan dihancurkan. Kalau bangunan ini dihancurkan, tidak ada lagi anak yang belajar. Karena ini satu-satunya tempat yang kamu punya.
Aku bingung setengah mati mendengar hal itu. Sampai suatu hari, aku membawa koran tentang seorang dermawan yang sangat kaya raya. Hingga aku mempunyai ide.
“Ciiittt, duaaarr.” Sebuah mobil menabrakku dengan kecepatan tinggi saat aku pulang sekolah. Aku tergeletak di jalan dengan darah yang mengalir keluar. Aku langsung dibawa ke rumah sakit. Saat aku sadar…
“Adik tidak apa-apa?”
“Tidak, saya harus pulang. Saya harus mengajar murid-muridku.”
“Tapi adik masih lemas. Apalagi tangan yang sebelah kiri belum bisa digerakkan.”
“Biarlah. Saya harus mengajar.”
“Baiklah kalau adik memaksa. Tapi adik harus saya antar sampai ke tempat mengajarnya.”
Bangunan tua terlihat dari dalam mobil mewah yang ditumpangi. Lelaki yang menabrakku pun melihat bangunan itu. Anak-anak yang menunggu langsung khawatir tapi aku langsung menenangkan mereka.
Setelah mengajar, lelaki yang menabrakku langsung bertanya padaku.
“Apa kau bekerja untuk membiayai mereka?”
“Tidak, tapi saya mencopet. Hanya itu yang bisa aku lakukan.”
Dengan hati yang tertegun ia menjawab,”dik jangan mencopet lagi. Saya akan bangun perpustakaan untuk mereka dan kau yang mengajar mereka disana. Hitung-hitung ini permintaan maaf dari saya yang menabrakmu.”
“Benarkah? Tapi sepertinya saya pernah melihat anda. Oh iya, anda orang dermawan yang ada di koran kemarin, kan?”
“Benar memang saya orang itu.” Dengan tersenyum ia menjawab,”ya Tuhan terima kasih Kau telah memperlancar rencanaku ini dan maafkan aku telah membohongi orang dermawan ini.”
Massa berlari menuju jalan yang ditunjuk oleh salah seorangnya.
“Untung aku tahu tempat yang aman.” Aku keluar sambil celingukan melihat keadaan.
“Aman. Hitung penghasilan hari ini ah….” Kubuka dompet itu.
“Wiiiihh, lumayan untuk kebutuhan anak-anak dan jajan mereka. Beruntung sekali aku hari ini.”
Setelah menghitung uang, aku langsung pulang.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan sepeda. Sepeda memang alternatif yang baik bagi pelajar Jakarta seperti aku yang kurang mampu. Pekerjaan ayahku hanya pemulung dan ibuku sebagai pembantu.
Penghasilan mereka cukup untuk kebutuhan sekolahku dan kebutuhan sehari-hari. Keadaan kami memang begini. Rumah kami hanya terbuat dari triplek. Kami tinggal di pinggiran kota Jakarta.
“Wahyuni, tunggu ini bekalmu. Emak hanya bisa membuatkan nasi kelapa saja.”
“Yam au bagaimana lagi. Emak tidak bisa membuatkan bekal seperti teman-teman SMA kamu yang lain.”
“Sudahlah mak. Aku mengerti kok. Ya sudah aku pergi dulu ya. Nanti aku telat kalau kesiangan.”
“Iya, hati-hati.”
Sepulang sekolah aku menuju tempat anak-anak berkumpul belajar, menuju bangunan tua yang kelihatan angker. Sebelum kesana, aku sudah membeli buku dan makanan kecil dengan uang nyopet kemarin.
“Siang, anak-anak!”
“Siang juga, kak Wahyuni.”
“Ini kakak bawakan buku dan makanan.”
Mereka langsung berebut mengambil buku dan makanan.
“Kalau kalian sudah dapat satu-satu, sekarang duduk dengan rapi. Kita akan meneruskan pelajaran membaca kemarin. Setuju?”
“Setuju.”
Anak yang kuajar adalah anak-anak tetanggaku yang tidak sekolah. Biasanya mereka mengamen atau menjual koran pada pagi hari dan siangnya aku ajar mereka. Karena susah mencari uang di kota ini akhirnya aku menjadi pencopet untuk membiayai belajar anak-anak.
Keesokan hari saat aku mengajar, aku mendengar bahwa bangunan tua ini akan dihancurkan. Kalau bangunan ini dihancurkan, tidak ada lagi anak yang belajar. Karena ini satu-satunya tempat yang kamu punya.
Aku bingung setengah mati mendengar hal itu. Sampai suatu hari, aku membawa koran tentang seorang dermawan yang sangat kaya raya. Hingga aku mempunyai ide.
“Ciiittt, duaaarr.” Sebuah mobil menabrakku dengan kecepatan tinggi saat aku pulang sekolah. Aku tergeletak di jalan dengan darah yang mengalir keluar. Aku langsung dibawa ke rumah sakit. Saat aku sadar…
“Adik tidak apa-apa?”
“Tidak, saya harus pulang. Saya harus mengajar murid-muridku.”
“Tapi adik masih lemas. Apalagi tangan yang sebelah kiri belum bisa digerakkan.”
“Biarlah. Saya harus mengajar.”
“Baiklah kalau adik memaksa. Tapi adik harus saya antar sampai ke tempat mengajarnya.”
Bangunan tua terlihat dari dalam mobil mewah yang ditumpangi. Lelaki yang menabrakku pun melihat bangunan itu. Anak-anak yang menunggu langsung khawatir tapi aku langsung menenangkan mereka.
Setelah mengajar, lelaki yang menabrakku langsung bertanya padaku.
“Apa kau bekerja untuk membiayai mereka?”
“Tidak, tapi saya mencopet. Hanya itu yang bisa aku lakukan.”
Dengan hati yang tertegun ia menjawab,”dik jangan mencopet lagi. Saya akan bangun perpustakaan untuk mereka dan kau yang mengajar mereka disana. Hitung-hitung ini permintaan maaf dari saya yang menabrakmu.”
“Benarkah? Tapi sepertinya saya pernah melihat anda. Oh iya, anda orang dermawan yang ada di koran kemarin, kan?”
“Benar memang saya orang itu.” Dengan tersenyum ia menjawab,”ya Tuhan terima kasih Kau telah memperlancar rencanaku ini dan maafkan aku telah membohongi orang dermawan ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar