Kamis, 23 Juni 2011

Kado Terindah Untuk Ayah

Cerpen Himmi Nadlifatin Kholisoh

Pagi bagi Kartini adalah bergegas bangun sebelum matahari bangkit dan membangunkan bumi. Harinya dimulai dengan mengolah makanan yang terbuat dari yang di jual di sekolah. Disela-sela kegiatannya dia harus menyiapkan sarapan untuk Bapaknya. Saat Kartini mau berangkat sekolah dia mendekati Bapaknya yang masih tertidur, mungkin capek setelah bekerja seharian. Pelan-pelan Kartini mendekati Bapaknya.
“Pak…aku berangkat sekolah dulu ya,” sambil menggoyang-goyang tubuh Bapaknya.

“Iya nak, hati-hati di jalan. Belajarlah yang baik biar tidak bodoh seperti Bapak.”
“Iya pak…,” sambil mencium tangan Bapaknya.
* * *

Semburat matahari sudah mulai menerangi bumi. Kartini pun sudah sampai di sekolah dan menitipkan jajanannya ke kantin seperti biasa. Pelajaran Bahasa Indonesia dimulai dan Bu guru menyuruh Kartini maju kedepan untuk menceritakan sosok RA Kartini.

Saat didepan kelas dia mulai menceritakan Bapaknya. Terdengarlah suara teman-temannya yang mulai tertawa, mengejek dan menghinanya.

“Memangnya salah, jika aku menganggap Bapakku sebagai RA Kartini lagian apa yang mau aku ceritakan sedangkan melihat Ibu saja aku tidak pernah,” pikirnya dalam hati.

Sesampainya di rumah Kartini langsung ke kamar dan duduk termenung,”kira-kira Ibu seperti apa ya? Kata Bapak Ibu seperti RA Kartini dan aku harus mempunyai semangat seperti RA Kartini agar Ibu bahagia.”

Saat Kartini makan malam bersama Bapaknya dia melihat raut muka Bapaknya lesu dan sangat capek.

“Pak, Ibu itu seperti apa sich?” tanya Kartini tiba-tiba hingga membuat Bapaknya tersedak.

“Kenapa tho nak…kok tiba-tiba kamu tanya tentang Ibu?” Sambil menatap Kartini dengan pandangan mata yang nanar.

“Aku selalu diejek teman-teman katanya aku anak pungut.”

“Siapa yang bilang begitu. Kamu bukan anak pungut. Kamu anak Bapak. Ibu kamu adalah perempuan yang sangat baik dan juga cantik seperti RA Kartini. Sudah sekarang kamu tidurlah besok kan sekolah,” kata Bapaknya sambil mengusap-usap kepala Kartini.

Saat Kartini sampai di kamar dan matanya mau terpejam Kartini baru ingat kalau dua hari lagi Bapaknya ulang tahun. “Aku harus bekerja keras mengumpulkan uang agar bisa memberikan kado buat Bapak,” tekadnya dalam hati.
* * * *

Kokok jago belum terdengar dan matahari pun masih enggan menyapa bumi. Tetapi Kartini sudah bangun dan menyiapkan dagangannya seperti biasa bahkan kali ini dia membuat lebih banyak.

Kartini sudah berniat akan menitipkan sebagian dagangannya di kantin sekolah dan yang lain akan dia jual keliling kampung setelah pulang sekolah. Akhirnya bel tanda pulang pun berbunyi. Kartini segera menyongsong pintu dan segera keluar menuju jalan perkampungan dan mulai menjajakan dagangannya. Ternyata harapannya tidak sia-sia dalam beberapa jam saja dagangannya sudah ludes.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kartini bergegas pulang sebelumnya dia ingin membeli sajadah untuk kado ulang tahun Bapaknya,”aku harus cepat-cepat pulang. Bapak pasti sudah menungguku di depan pintu dengan cemas,” gerutuku sambil mempercepat langkahku.

Benar saja katika Kartini sudah di depan rumah ia melihat Bapaknya mondar-mandir di depan pintu dengan raut muka gelisah. Ketika Kartini sudah berada didepan Bapaknya, reaksi yang ditunjukkan lelaki itu sangat jauh dari yang diharapkan Kartini.

Lelaki itu hanya diam dan memandang tajam kea rah Kartini. Kemudian masuk ke kamar tanpa mengucapkan satu patah kata pun tapi Kartini bisa melihat perasaan lega yang luar biasa dari mata Bapaknya itu. Kartini sudah menunggu lama di ruang makan tetapi Bapaknya tidak keluar juga. Akhirnya Kartini masuk ke kamar Bapaknya dan mendapati Bapaknya sedang duduk membelakangi pintu, Kartini mendekati Bapaknya pelan-pelan.

“Pak, maafin Kartini,” kata Kartini menahan tangis. Tetapi Kartini tidak dapat menahan tangisnya. Air mata pun meleleh begitu saja karena Bapaknya bersikap dingin dan seolah tidak menganggapnya. Makanan serta secangkir kopi yang dibawa Kartini tidak disentuh sama sekali. Ketika Kartini hendak keluar dan baru melangkah empat kali Bapaknya memanggil kemudian memeluknya erat-erat.

“Maafin Kartini Pak. Kartini janji tidak akan mengulanginya lagi. Bapak boleh menghukum aku tapi jangan bersikap dingin seperti ini. Kartini tidak kuat Pak….” Isak tangis Kartini dalam pelukan Bapaknya.

“Bapak sangat menyayangimu. Bapak tidak mau kamu celaka. Setelah pulang sekolah kamu kemana? Bapak sangat khawatir,” katanya sambil memegang pipi anak semata wayangnya tersebut.

Kartini melepaskan pegangan Bapaknya dan keluar kamar untuk mengambil sajadah yang sudah ia siapkan. Kartini kembali ke kamar Bapaknya dan memberikan sajadah tersebut.

“Tadi aku pulang terlambat karena berjualan ke kampung-kampung dan membeli sajadah ini. Kan hari ini Bapak ulang tahun.” Sambil memberikan sajadah.

Bapaknya kemudian menangis dan merangkul tubuh Kartini dengan sangat erat seolah tidak mau melepaskannya.

“Jadi kamu melakukannya untuk Bapak?”

“Iya….” Sambil mengangguk.

Akhirnya Kartini melewati malam dengan tidur dipelukan Bapaknya dan kata terakhir yang terdengar Kartini dari mulut Bapaknya,”kau adalah Kartiniku nak….” Mereka pun terlelap dalam buaian mimpi indah dan yang terdengar hanyalah desah angina yang menyejukkan bulan dan bintang pun seakan tersenyum pada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar