
Penulis : Hamka
Penerbit : PT. Bulan Bintang
Tebal : 80 Halaman
Bagaimana ya rasanya jatuh cinta pada seseorang yang sudah kita anggap seperti adik sendiri?
Hal itulah yang dialami oleh seorang pemuda bernama Hamid dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini. Dalam novel setebal 80 halaman ini, penulis menceritakan tentang kisah cinta dua anak manusia yang tidak bisa bersatu karena terpisahkan oleh jarak, waktu dan ajal. Selain itu novel karya Hamka ini juga merceritakan tentang kesabaran luar biasa yang tanpa disadari akan menguras air mata kita saat membacanya.
Adalah Hamid, tokoh utama dalam novel yang memiliki kisah hidup yang mengharukan. Ia telah ditinggalkan oleh ayahnya ketika berusia 4 tahun. Hamid kecil membantu ibunya berjualan keliling untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai suatu hari ada seorang hartawan bernama Haji Ja’far dan Mak Aisah yang membeli sebuah rumah besar di dekat tempat tinggalnya. Mereka adalah seorang yang dermawan dan memiliki seorang anak perempuan bernama Zainab.
Haji Ja’far dan istrinya terharu melihat kehidupan Hamid, sehingga mereka yang membiayai sekolah Hamid sampai ke Perguruan Tinggi dan menganggapnya seperti anak sendiri. Setelah menyelesaikan kuliah Hamid pun kembali dan mulailah tumbuh perasaannya terhadap Zainab yang dulu dianggap seperti adiknya sendiri, namun perasaan itu disembunyikan dengan sangat hati-hati. Tanpa disadari Zainab juga merasakan hal yang sama dengan Hamid.
Kemudian musibah terus berdatangan, pertama kematian Haji Ja’far selang beberapa lama, Hamid ditinggalkan oleh ibunya. Bahkan Hamid diminta oleh Mak Aisah untuk membujuk Zainab agar mau menikah dengan sepupunya, padahal ini sangat bertentangan dengan perasaannya namun tetap di jalaninya.
Sejak saat itu Hamid memutuskan untuk pergi tanpa sepengetahuan orang lain. Hingga sampai suatu saat ia bertemu dengan sahabat lamanya di Makkah, dari sahabatnya didapatkan kabar bahwa Zainab selalu mencari kabar tentangnya hingga jatuh sakit. Sampai akhirnya diketahuilah bahwa Zainab mempunyai perasaan yang sama halnya dengan Hamid dan selalu menunggu kepulangannya.
Namun takdir berkata lain, Zainab yang sering sakit-sakitan begitu juga Hamid tidak sempat bertemu karena mereka dipisahkan jarak, waktu dan ajal. Sehingga Zainab mendahului Hamid menghadap yang Kuasa dan selang beberapa hari saat melaksanakan rukun haji yang terakhir Hamid ditandu oleh orang Badui, ia pun berpulang kepangkuan yang Maha Kuasa.
Dilihat dari keunikan bahasanya penuh dengan warna dan alurnya membawa pembaca merasakan apa yang dirasakan Hamid dan Zainab. Meski demikian, masih ditemukan kelemahan dari segi bahasanya yaitu berbelit-belit karena tidak semua pembaca mengerti bahasa yang dicampur adukkan antara bahasa Minang-Indonesia dan Melayu.
Terlepas dari kekurangannya novel ini, tetap mengandung banyak hikmah yang dapat memotivasi kita untuk bisa menjadi hamba Allah yang lebih baik dari sebelumnya. (Nur Hidayah)
Adalah Hamid, tokoh utama dalam novel yang memiliki kisah hidup yang mengharukan. Ia telah ditinggalkan oleh ayahnya ketika berusia 4 tahun. Hamid kecil membantu ibunya berjualan keliling untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai suatu hari ada seorang hartawan bernama Haji Ja’far dan Mak Aisah yang membeli sebuah rumah besar di dekat tempat tinggalnya. Mereka adalah seorang yang dermawan dan memiliki seorang anak perempuan bernama Zainab.
Haji Ja’far dan istrinya terharu melihat kehidupan Hamid, sehingga mereka yang membiayai sekolah Hamid sampai ke Perguruan Tinggi dan menganggapnya seperti anak sendiri. Setelah menyelesaikan kuliah Hamid pun kembali dan mulailah tumbuh perasaannya terhadap Zainab yang dulu dianggap seperti adiknya sendiri, namun perasaan itu disembunyikan dengan sangat hati-hati. Tanpa disadari Zainab juga merasakan hal yang sama dengan Hamid.
Kemudian musibah terus berdatangan, pertama kematian Haji Ja’far selang beberapa lama, Hamid ditinggalkan oleh ibunya. Bahkan Hamid diminta oleh Mak Aisah untuk membujuk Zainab agar mau menikah dengan sepupunya, padahal ini sangat bertentangan dengan perasaannya namun tetap di jalaninya.
Sejak saat itu Hamid memutuskan untuk pergi tanpa sepengetahuan orang lain. Hingga sampai suatu saat ia bertemu dengan sahabat lamanya di Makkah, dari sahabatnya didapatkan kabar bahwa Zainab selalu mencari kabar tentangnya hingga jatuh sakit. Sampai akhirnya diketahuilah bahwa Zainab mempunyai perasaan yang sama halnya dengan Hamid dan selalu menunggu kepulangannya.
Namun takdir berkata lain, Zainab yang sering sakit-sakitan begitu juga Hamid tidak sempat bertemu karena mereka dipisahkan jarak, waktu dan ajal. Sehingga Zainab mendahului Hamid menghadap yang Kuasa dan selang beberapa hari saat melaksanakan rukun haji yang terakhir Hamid ditandu oleh orang Badui, ia pun berpulang kepangkuan yang Maha Kuasa.
Dilihat dari keunikan bahasanya penuh dengan warna dan alurnya membawa pembaca merasakan apa yang dirasakan Hamid dan Zainab. Meski demikian, masih ditemukan kelemahan dari segi bahasanya yaitu berbelit-belit karena tidak semua pembaca mengerti bahasa yang dicampur adukkan antara bahasa Minang-Indonesia dan Melayu.
Terlepas dari kekurangannya novel ini, tetap mengandung banyak hikmah yang dapat memotivasi kita untuk bisa menjadi hamba Allah yang lebih baik dari sebelumnya. (Nur Hidayah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar