
Penulis : Sitisoemandari Soeroto
Tebal Buku : 493 Halaman
Penerbit : P.T. Gunung Agung
Kota Terbit : Jakarta
Tahun : 1982
Cetakan : III
Sekarang adalah saatnya membicarakan seorang pahlawan spesial yang menghabiskan seluruh hidupnya sebagai sebuah langkah awal perjuangan besar. Dalam perjuangan yang nantinya akan membuka lembar baru pengetahuan dan eksistensi Indonesia. Pahlawan itu tak lain adalah seorang wanita istimewa yang kita panggil ibu Kartini.
Hampir semua aspek kehidupannya yang merupakan perjuangan dibahas dan diceritakan dengan indah dalam kalimat-kalimat panjang penuh makna, terutama yang berhubungan dengan surat-surat yang beliau tulis semasa hidup kepada teman-temannya bangsa Belanda. Surat-surat tersebut yang oleh salah seorang sahabatnya, J.H. Abendanon diterbitkan dengan judul ‘Door Duiternis Tot Lincht’ (habis gelap terbitlah terang). Semuanya terangkum dalam sebuah biografi oleh Sitisoemandari Soeroto dibawah judul Kartini Sebuah Biografi.
Buku setebal 493 halaman ini berisi kisah-kisah perjalanan hidup sang ibu mulai kanak-kanak, masa pingitan, dewasa, menikah hingga akhirnya dipanggil keharibaan sang pencipta. Dengan membaca buku berkover orange tersebut, tidak mengherankan bagi saya untuk mengetahui bahwa sepanjang usianya yang tergolong singkat itu adalah sebuah perjuangan panjang yang tak padam dengan tertutupnya mata ibu kita tersayang itu untuk selama-lamanya.
Dengan membaca biografinya kita juga akan tahu situasi dan kondisi seperti apa yang telah menempa istri bupati Rembang menjadi seorang wanita dan putri sejati bagi bangsa yang dicintainya dan betapa kejamnya takdir yang membawanya menjalani hal yang selama hidupnya dianggap menjadi musuh terbesar yang harus dimusnahkannya dengan pendidikan yang diidamkan olehnya.
R.A. Kartini yang seyogyanya sangat tidak menyukai poligami malah harus mengalaminya sendiri dan betapa getirnya hal itu bagi ibu Kartini hingga membawanya pada kematian diusia yang relatif muda yakni 25 tahun. Dan yang lebih dramatis lagi adalah kematiannya itu tepat terjadi empat hari setelah melahirkan R.M. Soesalit, putra satu-satunya.
Kematian tersebut laksana petir bagi sahabat-sahabat baiknya juga orang-orang yang pernah mengenalnya terlebih bagi keluarga dan kedua adiknya yang tercinta Rokmini dan Kardinah. Adik yang sangat dekat yang senantiasa bersama dalam suka duka perjuangannya mendobrak adat foedal yang mengukung wanita dalam kebodohan.
Dengan membaca buku terbitan tahun 1982 ini kita juga akan mengetahui kehidupan sosial dalam keluarga bupati pada masa itu dan bahwa sebenarnya ibu kita memiliki dua orang ibu yakni Raden Ayu Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. Beliau merupakan putra kelima dari 11 bersaudara.
Disamping hal keluarga, buku ini juga memaparkan usaha-usahanya dalam membangun mental bangsa yang berpendidikan serta membuka mata para pemudanya akan pentingnya rasa nasionalisme.
Diantara jasa dan prestasi putri kesayangan R.M.A.A. Sosroningrat itu adalah: memodernisasi adat Jawa tradisional, menjadi penulis dan wartawati pertama di Indonesia pada tahun 1898, mengenalkan batik kekancah internasional serta menulis standar kesenian dalam membatik, menghidupkan kerajinan ukir di Jepara, memberi kritik-kritik tajam terhadap pemerintahan Hindia-Belanda pada waktu itu, menulis nota Kartini yang berisi permohonan untuk memberikan pendidikan yang layak bagi para wanita bangsa Jawa, membuka sekolah gadis pertama di kabupaten Jepara, mendapatkan beasiswa untuk dirinya dan kedua adiknya yang tercinta ke Belanda (meskipun akhirnya ditolaknya dengan berbagai alasan), kembali mendapatkan beasiswa belajar di Batavia (juga tidak jadi diterimanya karena terlanjur menerima lamaran dari bupati Rembang, R.M.A.A. Djojo Adiningrat).
Sungguh perjalanan dan perjuangan putri yang lahir pada tanggal 21 April 1879 itu tidaklah mulus dan mudah melainkan penuh dengan duri, tikungan tajam yang dihiasi dengan cacian dan cercaan orang-orang kerdil yang menganggap perubahan sebagai dosa. Padahal seperti apa yang kita ketahui sekarang bahwa apa yang telah dimulai oleh sang ibu yang berani adalah sebuah langkah awal lahirnya bangsa Indonesia yang merdeka dan berpendidikan. Dengan dibukanya kesempatan bagi para wanita mendapat kehormatannya di dunia pendidikan. Sungguh besar perjuanganmu ibu dan sungguh besar jasa-jasamu bagi kami, bukan hanya kaum ibu tapi juga seluruh tumpah darah Indonesia.
Kematian dari seorang pemikir kritis yang penuh kasih adalah awal terbukanya gerbang kesadaran betapa indahnya dunia yang kau cita-citakan. Terimakasih putri sederhana yang sampai akhir hayatnya (17 September 1904) berjuang dengan bangga atas rasa cintanya kepada rakyatnya. “Aku bangga namaku disebut senafas dengan rakyatku” (R.A. Kartini, DDTL). (Khuliyatul Hidayah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar