Minggu, 25 September 2011

Tersenyum

Oleh Umi Sofijati

Kita akan tersenyum manakala rasa tersentuh nuansa bahagia. Rasa itu bisa muncul dari penglihatan dan pendengaran. Banyak momen keseharian yang membuat kita tersenyum. Mendengar ucapan yang lucu kita tersenyum. Melihat polah tingkah yang lucu kita tersenyum. Mengingat kejadian yang lucu kitapun tersenyum. 

Senyum adalah ungkapan rasa suka hati kita. Jika kita mendengar dan melihat hal-hal yang lucu kita tersenyum, itu hal yang wajar.
Karena senyum memang digerakkan oleh insting yang ada pada manusia.
Namun, ada senyum yang digerakkan oleh akal dan nurani. Senyum yang timbul kala merenungi sikap dan tingkah laku diri sendiri. Kita akan tersenyum saat menemukan sikap kekanak-kanakan. Bahkan saat kita sudah berubah sekalipun. Kita akan tersenyum, ternyata tanpa kita sadari  kita sering melakukan hal-hal yang konyol untuk menyikapi sesuatu.
 
Misal, saat kita gagal mengapai impian. Saat diri kita berharap sesuatu dan harapan itu sudah menggelayuti hati dan pikiran kita siang malam. Harapan yang mampu mendorong untuk berikhtiar semampu kita. Tapi, jika tahu-tahu semua berujung kegagalan. Hati akan merasa sedih. Dunia serasa hancur. Kita akan bersikap uring-uringan. Marah dengan diri sendiri. Tidak mau makan. Sikap seperti inilah yang pantas untuk kita senyumi bahkan kita tertawakan.
 
Karena tanpa kita sadari kita telah bersikap kekanak-kanakan. Bagaimana tidak? Kita sudah dewasa, bahkan tua sekalipun. Masih juga tidak tahu dan tidak menyadari bahwa bukanlah kita yang menentukan ujung dari segala sesuatu. Manusia hanya mampu berikhtiar dan berusaha. Sedang hasil adalah pemberian dan penolakan dari sang Illahi rabbi. 

Bukankah sudah ditulis dengan jelas pada firman-Nya: “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23).
 
Masih ada sikap yang lain yang perlu kita tertawakan. Sering kali kita bersikap dungu. Tidak peduli usia kita sudah tua. Jika untuk urusan dunia, orang akan rela berkorban apapun. Sejauh apapun akan di tempuh, setinggi apapun akan di daki. Harapannya hanya untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Entah itu gaji bulanan, karier yang meningkat, atau keuntungan yang berlipat ganda. 

Namun semua akan terasa sulit. Kaki terasa berat melangkah, telinga terasa enggan mendengar. Ketika adzan mulai berkumandang dan mengajak untuk rukuk dan sujud lima waktu.
 
Sikap seperti inilah yang perlu kita tertawakan. Apa perlu malaikat mendatangi setiap pintu rumah dan membawa segebok uang hanya untuk mengajak kita menjalankan shalat lima waktu. Itu sebagai jaminan pahala di dunia sebelum mendapatkan pahala di akhirat. Umat Islam sangat lucu dalam urusan shalat berjamaah. Orang lebih mementingkan materi. Padahal waktu lebih banyak dalam urusan keseharian kita. Namun meluangkan waktu sedikit untuk berjamaah kita masih saja enggan.
 
Ternyata sampai usia dewasa bahkan tua. Kita masih belum mampu berpikir sebagai orang dewasa, kita masih bersikap seperti anak kecil. Anak kecil yang kesenagannya hanya tertuju pada objek tertentu. Kasat mata. Itu yang menyebabkan mengapa anak kecil suka dengan mainan. Maka jika orang dewasa  hanya menyenangi hal-hal yang kasat mata seperti materi, mereka tak ubahnya seperti anak kecil yang suka mainan.

Jika kita rajin mencermati semua sikap pada diri sendiri dalam semua aspek kehidupan, maka kita akan menemukan banyak alasan untuk menertawai diri sendiri. Orang yang mampu menertawai dan menertawakan diri sendiri, merekalah orang yang berhati ikhlas. Karena mereka menyadari kelemahan diri dan siap untuk memperbaikinya. Jika orang mempunyai rasa sombong dan dengki, setitik pun menolak kebaikan, maka mereka tidak dapat menertawai diri sendiri apalagi untuk menertawakannya. Maka golongan manakah kita? Wallahu a’lam.

Blora, 26 Syawal 1432 H
  
*) Mahasiswi STAI al-Muhammad Blora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar