Sabtu, 10 Desember 2011

Gara-Gara Rokok

Cerpen: Amin Sahri

Vino menunggu kedatangan kekasihnya di halte depan sekolah. Angin pukul empat sore berkibar mengibas sekujur tubuhnya yang gerah. Resah mengalir dari ubun-ubun ke dada yang berdebar-debar. Sudah setengah jam waktu terbuang, tapi Diana belum datang. Vino tidak suka menunggu terlalu lama. Ia berfirasat kurang enak, karena tadi pagi Diana bersikap dingin dan bermuka—sedikit—marah.
Vino terduduk lesu, menatap lalu lalang kendaraan yang bising dengan tatapan nanar. Di sekelilingnya tiada sesiapa kecuali seorang wanita paro baya pemilik warung kecil di dekat jalan raya itu. Warung itu hanya berjarak lima meter dari halte. Kemarin ia tertangkap mata oleh Diana sedang merokok di lokasi tersebut.

Vino bangkit berdiri melihat Diana melangkah menghampirinya.

“Kok, lama banget, Say? Aku sampai ngakar nunggu di sini tau,” keluh Vino bernada menggoda setiba Diana berada di hadapannya.

“Oh… maaf, Ka. Tadi rapat ngebahas class meeting-nya lama,” jelas Diana. Ia menciptakan senyum yang dipaksa.

“Lalu hal penting apa yang akan kita bicarakan di sini, Say?” ujar Vino.

Hening sejenak. Diana menghela nafas. Vino was-was.

“Kemarin sore aku lihat kaka di sini merokok sama Andi ce-es. Iya, kan?” ucap Diana berintonasi menginterogasi.

“Mhm…” Vino kesulitan mengeluarkan kata.

“Jawab, Ka!” tegas Diana.

“Kok, kamu tau?” Tanya Vino terbata.

“Kaka juga sudah tahu, kan; aku benci sama pelajar perokok,” rutuk Diana. “Apalagi punya pacar perokok kaya kamu?!” tambahnya.

Mendengar jawaban tajam Diana, Vino menjadi malu.

“Maafkan aku, Na. kemarin  aku ditawari rokok oleh dia. Aku hanya menghormatinya, jadi aku ikut merokok,” urai Vino. Jujur.

“Itu hormat yang keliru. Harusnya kaka punya prinsip yang teguh. Mana komitmenmu sebagai atlet basket kebanggan seluruh siswa dan guru di sekolah ini?” kata-kata Diana begitu telak. Menohok tepat di ulu hati Vino.

“Aku tidak akan mnegulangimya lagi, Na!” sesal Vino.

“Dan aku tidak akan menjalin hubungan istimewa lagi denganmu. Mulai detik ini, kita teman biasa!” putus Diana. Ia memang tegas. Ia terkenal disipilin dan rajin di sekolahnya. Wajar, wanita cantik nan cerdas itu diidolakan banyak lelaki. Termasuk pemain “Timnas”  basket sekolah, Vino. Sayangnya, Ikatan kasih mereka yang telah berjalan tiga bulan, kini kandas sudah.

“Kuharap kau bisa menerima keputusanku. Selamat tinggal!” Diana berlalu pergi dengan langkah tergesa.

Vino hanya mampu membisu seribu asa. Ia hanya bisa menatap sendu pujaan hatinya yang makin lama makin menjauh. Jauh dari harapannya.

  * * *
Sore hari berikutnya. Seusai kegiatan ekskul basket, Vino menuju halte untuk menunggu bis. Untuk pulang.

“Kenapa nggak bergairah, mas bro, ini rokok buat kamu,” Andi yang sendirian di halte melempar sebungkus rokok pada Vino.

“Aku sedang tak ingin merokok,”

“Alakh… banci kamu nggak berani ngerokok!”

Mendengar ucapan itu, Vino naik pitam. Kepalan tangan berototnya melayang dan menghujam tiga kali di muka keriput Andi yang nampak sering kurang tidur. Andi sempoyongan.

“Kamu yang banci. Dasar manusia penuh kasus. Goblog!” umpat Vino berapi-api.

Andi terbakar emosi. Ia bangkit. Menghunuskan pisau yang ia ambil dari tas kecilnya.

“Brengsek, akan kuhabisi kau!” ancam Andi dengan wajah kesetanan.

Dari arah seberang jalan, Diana dan Ramdi muncul. Mereka baru usai latihan karate.

“Stop, stop…” teriak keras Diana mengalihkan semuanya. “Andi, kamu jangan berbuat kriminal di sini!” Diana geram melihat tangan kanan Andi yang menuding-nudingkan pisau.

“Hei cecunguk, kalo kamu lelaki lawan aku tangan kosong?” Ramdi menyingsingkan kedua lengan bajunya. Andi gentar, Vino bersikap santai.

“Sudah, sudah… kalian jangan pada berkelahi! Dan kamu, Andi, pergi dari sini sebelum aku berteriak ke semua orang!” lerai Diana.

Andi pun segera kabur bersama luka di muka dan kekalahannya.
“Vino, aku minta maaf atas perlakuanku kemarin,”

“Dan hari ini aku terima kasih atas pengertian dan kebaikanmu,” Vino mengulum senyum. Indah.

“Mhm… aku ingin jadi kekasihmu lagi, Vin.” Ups! Ucapan Diana didengar Ramdi pula.


*)Amin Sahri, akrab disapa Amri. Kadang memakai nama alias Irhan Alamsyah. Lahir 19 Mei 1992. Alumnus SMP Negeri 5 Cilacap ini sempat vakum sekolah satu tahun karena faktor ekonomi. Kini masih menuntut ilmu di MA Negeri Cilacap. Semakin mencintai sastra sejak bergabung di Komunitas Matapena Yogyakarta. Beberapa karyanya dimuat Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Campusmagz, dll. Alamat: Babakan RT 05/01, Kawunganten, Cilacap 53253. Rumah mayanya: amriops@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar